Jumat, 18 Maret 2011

PEMBAURAN BUDAYA INDONESIA-MALAYSIA DALAM NOVEL CAKRA WARUGA KARYA ARENA WATI


A. Latar Belakang

Interaksi antara orang Indonesia dan orang Malaysia telah terjadi sejak dahulu, yaitu sejak adanya kontak antara keduanya.  Interaksi untuk kepentingan hidup merupakan sesuatu yang paling asasi, karena tidak hanya terjadi antar ras, antar sukubangsa, maupun adat, akan tetapi juga antar individu. Orang Indonesia dan orang Malaysia bergaul untuk memenuhi hasrat sosial dan memenuhi kebutuhan hidup  mereka. Pergaulan antar jenis kelamin kemungkinan dapat berakhir dengan pernikahan sehingga terjadi pembauran. Apabila dari pernikahan itu diperoleh keturunan, maka pada keturunan dari pernikahan orang Melayu Malaysia dan orang Indonesia tersebut berbaur dalam dirinya dua budaya, yaitu budaya Malaysia dan budaya Indonesia. Dalam novel Cakra Waruga, pembauran antara budaya Indonesia dan budaya Malaysia ditemukan melalui pernikahan antar tokoh dan juga melalui interaksi sosial satu sama lain dalam suatu masyarakat.
Makalah ini mencoba memberikan suatu interpretasi sosial dan kultural terhadap pembauran budaya  Indonesia dan budaya Malaysia dalam novel Cakra Waruga karya Arena Wati.  Hal yang menarik dalam  novel ini adalah penggunaan tokoh-tokoh cerita yang sebagian besar memiliki latar belakang budaya Indonesia, khususnya, Bugis-Makassar dan Jawa dalam konteks kehidupan masyarakat Malaysia. Hal ini tentu tidak terlepas dari eksistensi kedua negara tersebut sebagai dua negara yang berbeda tetapi dalam satu rumpun yang sama, yaitu rumpun Melayu. Bahkan Arena Wati sendiri selain sebagai warga negara malaysia dan sasterawan Malaysia juga memiliki darah keturunan Bugis-Makassar yang dilahirkan pada tanggal 30 Juli 1925 di Kalumpang, Jeneponto, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia.
Penggunaan tokoh cerita yang memiliki latar belakang Bugis-Makassar dan Jawa dalam konteks masyarakat Malaysia dengan setting di Pontian Malaysia tersebut merupakan wujud peran karya sastra yang diwakili oleh karya-karya Arena Wati dalam mengeliminasi jurang pemisah antara Indonesia dan Malaysia dari sudut sosial, ekonomi, dan politik dengan menggunakan karya sastra sebagai medianya, terutama dalam pembauran budaya antara kedua negara itu. Di antara tokoh cerita tersebut adalah  Kang Juri anak Raden Mas Sutarto bin RM.Sastromulyo dari kerajaan Mataram, Salam anak Kang Juri, Prof. Dr. Mustafa anak dari Datuk Dan cicit Wak Coneng asal Wajo Sulawesi Selatan, Prof Dr. Rubiah dan Prof Dr. Kintan keturunan Andi Massek. Peranan tokoh-tokoh utama tersebut dalam cerita tentu membawa tradisi dan budayanya masing-masing dalam berinteraksi sosial.  
B. Permasalahan
Cakra Waruga adalah hasil karya Arena Wati, seorang sastrawan Malaysia yang memiliki darah Bugis-Makassar. Melalui novel dengan setting Malaysia tersebut, Arena Wati memasukkan aspek-aspek sosial-budaya Bugis-Makassar dan Jawa dalam interaksi sosial masyarakat Malaysia. Bahkan dalam silsilah keturunan para tokoh cerita terdapat pencampuran darah Indonesia dengan Malaysia, dan Indonesia dengan Indonesia yang merupakan generasi ketiga. Hal ini mencerminkan telah terjadinya pembauran budaya dalam novel tersebut, yaitu antara budaya Indonesia dan budaya Malaysia.
C. Pembauran Budaya
Pembauran adalah terjadinya pencampuran antar unsur yang menyebabkan hilangnya sifat keaslian suatu unsur dan membentuk unsur baru, yang kemudian disebut sebagai unsur campuran. Dengan demikian, pembauran antar dua budaya adalah terjadinya pencampuran antar suatu budaya dengan budaya yang lain dan menciptakan suatu budaya campuran. Pembauran tersebut biasanya merupakan akibat dari adanya interaksi, namun tidak selamanya interaksi itu menghasilkan pembauran. Dengan demikian, tidak selamanya interaksi antara orang Indonesia dan Malaysia menghasilkan pembauran budaya. Akan tetapi adanya pembauran berawal dari adanya interaksi. Interaksi yang menghasilkan banyak pembauran adalah interaksi antara orang Malaysia dengan para pendatang, terutama dari Indonesia  yang beragama Islam. Interaksi sosial dan perdagangan antar keduanya banyak yang dilanjutkan sampai ke jenjang pernikahan. Dari pernikahan itu lahir keturunan campuran yang menyatu dengan masyarakat Melayu Malaysia.
Pembauran juga terjadi karena interaksi melayu dengan suku-suku bangsa non-melayu nusantara, dan terjadi pernikahan antar suku, terutama dengan suku bangsa yang seagama. Bahkan pernikahan demikian dianggap sangat menguntungkan, karena dapat memperbesar dan memperluas pertalian keluarga. Misalnya pernikahan antara Melayu Malaysia dan Bugis-Makassar , Melayu Malaysia dengan Jawa, dan lain-lain. Faktor utama yang menghambat interaksi tidak berlanjut ke pernikahan adalah perbedaan agama. Apabila salah satu pihak meninggalkan agamanya dan masuk agama atau kepercayaan lawan jenisnya, maka pernikahan dapat terjadi.
Pernikahan antara melayu dan non-melayu yang beragama islam atau antara melayu dan non-melayu dari Ras melayu yang bukan islam dapat berkembang kearah pembauran, asalkan mereka menganut agama dan kepercayaan yang sama. Orang islam melayu menikah dengan non-melayu yang sudah islam akan lebih mudah membaur dari pada pernikahan melayu yang tidak islam dengan non-melayu yang tidak islam, karena orang-orang melayu sulit menerima pembauran yang kedua. Lain halnya dengan anggota keluarga non-melayu yang non islam, mereka masih dapat menerima pembauran dengan melayu yang sudah seagama atau sekepercayaan dengan mereka. Dalam hal ini faktor-faktor kemelayuan dan keislaman atau kesamaan agama sangat menentukan pembauran antara melayu dan non-melayu. Tidak mengherankan bila orang-orang non-melayu yang bukan islam meninggalkan agamanya kemudian masuk islam. Mereka ini disebut sebagai seorang melayu, karena sebagian anggota masyarakat melihat bahwa melayu dan islam adalah identik     
D. Sosial Budaya dalam Cakra Waruga  
Wujud adat istiadat memberi jiwa kepada masyarakat.  Ide-ide, gagasan, norma-norma dan keyakinan yang ada di dalamnya mengatur dan memberi arah kepada aktivitas sosial manusia yang berinteraksi dan kepada karya manusia itu sendiri, termasuk karya sastra. Arahan dan panduan dari sistem budaya memunculkan tindakan yang berpola dalam aktivitas manusia yang berinteraksi (Koentjaraningrat, 1990: 187). Lebih lanjut Wiranata, (2002: 103) mengemukakan bahwa wujud kebudayaan dalam bentuk aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, hidup bersosialisasi, dan berkomunikasi serta bergaul satu sama lain senantiasa mengikuti  pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Hal ini mencerminkan adanya keterkaitan yang tak terpisahkan antara karya sastra dan manusia yang didalamnya terkait aspek sosial, budaya, dan adat istiadat masyarakat manusia.
 Karya sastra, khususnya novel, merupakan salah satu media pengungkapan suatu budaya tertentu dan aktivitas sosial manusia dalam masyarakat secara naratif. Sumber inspirasinya tentu saja dari berbagai peristiwa dan aktivitas sosial dalam masyarakat budaya itu yang direkam, dialami, atau disaksikan oleh pengarang  cerita, terlebih lagi apabila pengarangnya merupakan merupakan bagian dari budaya itu, seperti Arena Wati dalam karyanya Cakra Waruga. Karena itu, tokoh-tokoh yang ditampilkan akan mewakili budaya itu yang beraktivitas dan bertindak sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan masyarakatnya. 
Dalam novel Cakra Waruga, peristiwa kematian Salam, anak Kang Juri dan Mbak Ngisa, diikuti serentetan aktivitas yang di dalamnya tercermin peradaban Bugis-Makassar termasuk Jawa, yaitu juadah pada kenduri taksiah hari ketiga adalah tembosa dan juadah pada kenduri hari ketuju tidak ada Tembosa. Tembosa tersebut merupakan simbolis dari sesuatu hal yang berhubungan dengan kondisi jazad dalam kubur. Karena itulah juadah atau hidangan pada hari ketiga berbeda dengan juadah pada hari ketujuh kematian, disebabkan oleh kondisi mayat dalam kubur yang berbeda pula. Selain itu, balai Wak Coneng yang dibangun di antara dua pepohonan: pohon asam jawa dan binjai merupakan cerminan rumah tradisional Bugis, di dalamnya terdapat beberapa simbol yang menggambarkan kebiasaan orang Bugis.
E. Pembauran Budaya Indonesia-Malaysia
1. Pembauran Budaya melalui Perkawinan  
Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara serumpun yang memiliki budaya masing-masing namun mencerminkan kemiripan satu sama lain, bahkan bahasa nasional Indonesia memiliki banyak persamaan dengan bahasa nasional Malaysia, karena keduanya berasal dari rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Melayu. Hidup berdampingan dalam satu benua, yaitu benua Asia, mempermudah interaksi antar kedua negara sehingga sangat memungkinkan terjadinya pembauran budaya antara keduanya melalui perkawinan.
Arena Wati sendiri merupakan pria berdarah Makassar, Indonesia dan menjadi warga negara Malaysia. Kedatangannya ke Malaysia tentu saja membawa serta adat dan kebiasaannya yang pada akhirnya berbaur dengan adat dan kebiasaan orang Melayu. Pembauran budaya antara kedua negara tersebut melalui perkawinan antara tokoh banyak mewarnai cerita Cakra Waruga karya Arena Wati yang nama aslinya Muhammad Dahlan bin Abdul Biang.
Datuk Haji Hamdan dan Ustazah Maimunah adalah orang tua Prof.Dr.Mustafa yang merupakan salah satu tokoh utama dalam novel Carka Waruga. Datuk Hamdan, ayah Mustafa, adalah anak  Bilal Mion keturunan Lebai Haji Sarwan dari Banjar yang pada masa hidupnya merupakan imam di Karimun. Sedangkan, Ustazah Maimunah, ibu Mustafa, adalah anak Sabiyah yang merupakan keturunan langsung dari Wak Coneng yang memiliki nama samaran Patta Lasintang dari Wajo.
Mustafa tahu dari cerita neneknya, Saibiyah binti Wak Coneng, bahwa dulu belum ada jalan yang menghubungkan Kukup dengan Pontian. Harimau membiak dalam hutan di Hulu Rimba Terjun. Setiap hari berkeliaran dan datang ke pantai mengintai kera makan lokan waktu air laut surut. Lokan makanan kera. Kera jadi makanan harimau! Begitulah suasana di Pontian pada saat itu, yaitu ketika Tuan Haji Usman bin Yahya dari Terengganu, datang ke Rimba Terjun! Dia menebang hutan kempas burnia surat putih Sultan Abu Bakar! Kemudian menanam pisang dan pinang, lalu dia jadikan sebagai kebun getah. Setelah kebunnya jadi, dia mengambil kuli dari Jawa untuk bekerja pada kebun itu. Tuan Haji Usman diminta jadi imam, tetapi dia tidak mau. Kemudian, Nik Senik Sekeluarga datang dari Kelantan, Engku Mumba, Bugis Selangor, sekeluarga datang dari Kelang. Di situ sudah ada Bugis Selat yang bernama Madamin yang kemudian kawin dengan seorang Melayu Banang. Madamin menggarap rawa di pantai dan kemudian menanaminya dengan kelapa dan pinang. Pada zaman Sultan Ibrahim, dia pun membuka kebun getah. Maka keluarga itulah saja pada awalnya yang memiliki tanah hutan tebang surat putih di Rimba Terjun. Pada masa itulah orang Melayu dari Karimun dan Siak, orang Bugis dan Banjar Alai tiba di Rambah, Teluk Kerang, Penerok, Permas dan Serkat. Di antara orang Banjar itu, termasuk pula ayah Mion, kakek Mustafa, yang bernama Lebai Haji Sarwan, yang berasal dari Martapura. Dia adalah imam di Karimun. Karena itu, maka Mion lahir di Penerok. Mion, kakek Mustafa lebih tua beberapa bulan daripada Sabiyah, nenek Mustafa. Dengan demikian, Prof.Dr.Mustafa memiliki darah campuran Bugis dan Banjar, namun lahir dan menjadi warga negara Malaysia sejak kakek buyutnya.  Karena itu,  budaya bugis, banjar dan melayu sudah berbaur menjadi satu dalam diri Mustafa. Pembauran tersebut terjadi melalui perkawinan di antara nenek moyangnya.
Prof.Dr.Mustafa kemudian kawin dengan Prof. Dr. Kintan, anak Datuk Haji Bob dan Juriah. Datuk Bob, ayah Kintan, lahir di Benut. Ayahnya bernama Andi Ambak bin Andi Masse, Bugis keturunan Wajo, sedang ibunya bernama Habibah Alias Bibi binti Adam Khan. Adam orang Pathan, keturunan Peshawar, kawin dengan wanita Melayu Batu Pahat dari campuran Cina Hakka dan Melayu. Selanjutnya, Ibu Kintan yang bernama Juriah adalah Melayu dari Parit Botak, Rengit.  Ayahnya Bugis peranakan Jawa, ibunya peranakan Cina. Ini berarti Prof. Dr.Kintan memiliki darah Bugis, Jawa, Melayu dan Cina.
Anak kedua Datuk Bob dan Juriah bernama Prof.Dr.Rubiah yang kawin dengan Dr.Salam yang memiliki darah murni Jawa Tengah. Salam adalah salah satu putra dari pasangan Haji Bajuri bin Raden Mas Sutarto yang lebih dikenal Kang Juri dan Hajjah Aisyah bin Raden Mas Sumiarto yang lebih dikenal Mbak Ngisa. Pasangan ini memiliki tiga anak yang lain, yaitu Suratmo, Sumarni, dan Supardi.
Perkawinan-perkawinan di atas merupakan peristiwa yang menyebabkan terjadinya pembauran budaya Indonesia dan Malaysia. Meskipun sebagian besar dari mereka merupakan pendatang di Pontian terutama yang berasal dari tanah Bugis-Makassar dan Jawa, Indonesia namun mereka sudah menjadi warga negara Melayu sejak dari nenek moyangnya. Karena itu, dalam diri mereka telah berbaur dua budaya, yaitu budaya Indonesia dan budaya Malaysia dan tentu saja mewarnai kehidupan mereka sehari-hari. Terlebih lagi, penulis cerita Cakra Waruga yang bernama Arena Wati merupakan warga negara Melayu yang memiliki darah Makassar, yaitu Jeneponto, Sulawesi Selatan. Kesemuanya ini mewarnai cerita pembauran antar dua budaya: Indonesia dan Malaysia, dalam cerita tersebut.


2. Budaya di Batu Nisan
Orang yang sudah meninggal ditanamkan batu nisan  di atas pusaranya sebagai pertanda bahwa di sana telah dikebumikan seorang manusia. Bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, batu nisan orang dewasa berbeda ukurannya dengan batu nisan anak-anak. Orang dewasa memiliki batu nisan yang besar sedang anak-anak memiliki batu nisan yang kecil. Bentuk batu nisan pun berbeda antara laki-laki dan wanita. Batu nisan laki-laki berbentuk bulat, sedangkan batu nisan wanita berbentuk leper. Untuk batu nisan yang memiliki nukilan jantung, arah bucu untuk batu nisan laki-laki menghadap ke atas, sedangkan untuk wanita menghadap ke bawah. Untuk ciri yang terakhir ini, tidak semua batu nisan menggunakannya, tetapi hal itu juga merupakan salah satu unsur budaya di Indonesia.
          Fenomena terhadap batu nisan di atas yang merupakan salah satu aspek budaya di Indonesia, khususnya dalam hal bentuk dan nukilan jantung pada batu nisan, juga ditemukan dalam novel Melayu Cakra Waruga, sebagai salah satu indikasi telah terjadinya pembauran budaya dalam hal arsitektur batu nisan.

”Nisan lelaki bucunya ke atas dan batang nisannya bersegi enam, hampir bulat. Nisan wanita bucunya ke bawah, bersegi empat, hampir leper”. Arena Wati, 2006:16)

 Namun, keindahan arsitektur kedua batu nisan yang diceriterakan dalam novel tersebut mengungkapkan jati diri pemilik nisan, bahwa jauh sebelumnya mereka telah mempersiapkan diri menghadapi kematian yang sudah pasti terjadi. Kesadaran dan penghayatan akan adanya hidup dan mati menjadi penuntun atas sikap dan perilaku sosialnya yang senantiasa diarahkan pada jalur yang tidak bertentangan dengan norma-norma agama yang dianutnya.
3. Budaya dalam Pelaksanaan Takziah Kematian   
Takziah kematian atau kenduri Malaysia merupakan aktivitas seremonial yang sudah membudaya di Indonesia, khususnya ummat Islam, yang biasanya dilakukan pada malam pertama, kedua, dan ketiga. Namun sering juga ta’siah kematian tersebut dilaksanakan sampai pada malam ketujuh. Kedatangan orang pada malam takziah tersebut yang disertai dengan cerama agama yang berhubungan dengan kematian merupakan bentuk ekspresi rasa belangsungkawa. Dalam Cakra Waruga, pada hari ketiga dan ketujuh kematian Salam, anak Kang Juri dilaksanakan takziah dengan hidangan khusus menurut adat sebagaimana diungkapkan oleh Prof.Dr.Kintan: ”Tembosa, untuk kenduri meniga hari, ...  Sedangkan, hidangan pada hari ketujuh adalah bubur kacang, sebagai simbol kondisi jazad pada hari ketujuh kematian.
4. Budaya Beroleh-Oleh    
Beroleh-oleh artinya membawa oleh-oleh. Dalam konteks upacara selamatan, menurut budaya Bugis-Makassar dan Jawa (Indonesia), orang yang datang tidak hanya disajikan makanan untuk makan di tempat, tetapi mereka juga diberikan oleh-oleh untuk dibawa pulang ke rumah. Pada takziah hari ketiga kematian Salam, para wanita jiran mengisi nasi, lauk, dan juadah ke dalam plastik.  Makanan itu merupakan oleh-oleh bagi tamu untuk mereka bawa pulang, untuk keluarga masing-masing.
Adat memberikan oleh-oleh kepada para tamu seperti dilaksanakan di atas berasal dari Jawa, Indonesia yang kemudian diadatkan orang jawa di Pontian, dengan variasi tambahan dan meresak dan dilazimkan orang Melayu. Di Jawa, dalam pelaksanaan selamatan atau takziah diadakan nasi tumpeng yang disimpan dalam bungkusan berbentuk piramid dikelilingi lauk, sayur dan daging. Itu tidak dimakan oleh tamu tetapi mereka bawa pulang. Mereka hanya makan makanan yang sudah disiapkan dan minum kopi. Ada pula nasi ambang yang disimpan dalam dulang, lengkap dengan lauk. Isinya bisa dimakan 12 orang, dibagi empat lalu dibungkus dan dibawa pulang oleh tamu. Tetapi kemudian divariasi orang Jawa di Pontian sehingga para tamu dapat makan nasi dan hidangan lain. Nasi tumpeng tersebut merupakan simbolisasi dari rasa syukur kepada Tuhan atas segala berkah dan rahmatNya.
5.  Keris bagi Masyarakat Bugis-Makassar dan Jawa
Bagi masyarakat Bugis-Makassar dan Jawa, keris merupakan simbol kejantanan seorang laki-laki, sehingga jika orang berbicara tentang keris maka akan diasosiasikan dengan laki-laki. Bahkan tidak sedikit orang Bugis-Makassar yang memandang keris itu sebagai jiwanya, dalam pengertian konotatif, sehingga bagi mereka tiada hari tanpa keris. Jiwa kejantanan seorang laki-laki dengan keris di tangan telah dipertunjukkan oleh Pangeran Diponegoro di Jawa dan Sultan Hasanuddin di Gowa, Sulawesi Selatan, dalam mempertahankan negara melawan penjajah. Memandang keris sebagai teman dalam memperjuangkan hidup, khususnya pada zaman penjajahan, membuat senjata ini mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat, sehingga memiliki dan memelihara keris dianggap sebagai salah satu aspek budaya di Indonesia. Aspek budayanya jelas terlihat dalam tata cara memperlakukan keris yang memiliki nilai sejarah atau bahkan nilai mistik tertentu di mata orang yang memilikinya.
Dalam novel Cakra Waruga yang mengungkapkan dalam bentuk narasi pembauran budaya Indonesia dan Malaysia, tokoh Datuk Dan ayah Prof.Dr.Mustafa adalah pria pencinta keris. Dia banyak menyimpan keris sebagaimana yang disebutkan oleh Prof.Dr.Rubiah yang menyatakan terharu  atas kegemaran Datuk Dan dalam menyimpan keris. Bagi seorang Datuk Dan, termasuk kaum bangsawan  dan priyayi Jawa dan Bugis-Makassar, menyimpan keris adalah sesuatu yang menyenangkan. Memandang dan mengusap-usap keris dapat memberikan kesenangan tersendiri. Bagi mereka keris dapat memberikan hiburan untuk menenangkan jiwa yang sedang gundah.   
6. Budaya berkuda  
Prof. Dr. Rubiah tahu dari Sawitri  bahwa laki-laki zaman dahulu tergila-gila pada kuda, sehingga memiliki seekor kuda merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Di Indonesia, kuda dijadikan alat transportasi yang banyak membantu masyarakat dalam melakukan aktivitas, seperti mengangkut gabah dari sawah ke tempat yang telah ditentukan, mengangkut orang dari suatu tempat ke tempat lain menggunakan bendi atau sejenis kereta ditarik kuda, atau dalam mengangkut barang-barang berat. Bahkan ketika belum ada jalan yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lain, orang menggunakan kuda sebagai alat transportasi sekalipun itu harus menyita waktu berhari-hari.
Dahulu, kuda tidak hanya dipandang sebagai pembantu setia dalam melakukan aktivitas, tetapi kuda dianggap sebagai sesuatu yang bisa mengangkat derajat sosial seseorang. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak semua orang mampu memiliki kuda, hanya orang tertentu saja yang bisa memilikinya. Karena itu, kuda merupakan simbolisasi  wibawa seorang laki-laki, baik bagi orang Jawa maupun orang Bugis-Makassar. Kewibawaan tersebut merupakan refleksi dari penggunaan kuda dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Pangeran Diponegoro di Jawa dengan kuda putihnya dan Sultan Hasanuddin di Gowa dengan kuda berwarna hitam kelam berjuang bersama dengan rakyat melawan penjajah.  Banyak pahlawan di tanah Jawa dan Bugis-Makassar menggunakan kuda dalam berperang dan mereka itu biasanya merupakan pimpinan pasukan. Karena itu, merupakan suatu kebanggaan tersendiri apabila seorang laki-laki memiliki kuda, terutama kuda jantan.
Di Jeneponto, tanah kelahiran Arena Wati, sangat dikenal sebagai daerah kuda. Dewasa ini, kuda di Jeneponto masih banyak memberikan kontribusi terhadap keberlangsungan hidup sebagian masyarakat Jeneponto. Kuda tidak hanya dimanfaatkan untuk membantu aktivitas sehari-hari, tetapi kuda juga dapat memberikan supplai energi untuk laki-laki jika mengkonsumsinya. Karena itu, di Makassar ada hidangan yang disebut coto kuda yang baik dikonsumsi untuk meningkatkan vitalitas laki-laki dan juga baik dikonsumsi untuk mencegah infeksi pada  luka. Kuda-kuda yang dikonsumsi tersebut umumnya berasal dari Kabupaten Jeneponto.
Budaya berkuda di tanah Bugis-Makassar telah dijual untuk para wisatawan. Di Malino, salah satu daerah wisata di Kabupaten Gowa, para wisatawan dapat menikmati wisata kuda berkuda di seputar lokasi yang telah ditentukan dipandu oleh pemilik kuda. Hal ini merupakan salah satu bentuk realisasi budaya berkuda di tanah Bugis-Makassar.
F. Penutup
Budaya suatu masyarakat merupakan cerminan situasi dan prilaku sosial dalam  masyarakat itu yang telah disepakati penggunaannya dalam berinteraksi. Budaya itu terbentuk dari  kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat pada masa lalu yang eksistensinya masih tetap dipertahankan sehingga kebiasaan-kebiasaan itu dianggap sebagai bagian dalam kehidupan sosial masyarakat. Kebiasaan itu tentu melekat pada diri seseorang sehingga kemanapun ia akan pergi, ia pun  membawa serta kebiasaan itu. Karena itu, orang Indonesia yang merantau ke Malaysia, mereka membawa kebiasaannya ke negeri Jiran. Hal ini menyebabkan terjadinya pembauran budaya antar kedua negara, terutama apabila terjadi perkawinan antara orang Indonesia dan orang Malaysia. Atau antara orang Indonesia dengan orang Indonesia lainnya yang sudah lama berbaur dengan budaya Malaysia. Pelaksanaan ta’siah hari ketiga dan ketujuh kematian Salam, putra Kang Juri dan Mbak Ngisa di Pontian, dan tata cara pelaksanaannya merupakan contoh telah terjadi pembauran antar kedua budaya itu. Demikian pula halnya dengan budaya beroleh-oleh dari Jawa dilaksanakan dan dilazimkan di Pontian Malaysia. Apresiasi terhadap keris, kuda, dan penanaman batu nisan di atas pusara yang bersifat umum merupakan bagian dari budaya kedua bangsa. Narasi pembauran budaya Indonesia dan Malaysia dalam novel Cakra Waruga tidak terlepas dari biografi Arena Wati sebagai penulis novel tersebut: Orang Indonesia dengan kewarganegaraan Malaysia, yang dalam dirinya telah berbaur dua budaya, yaitu budaya Indonesia dan budaya Malaysia.








Daftar Pustaka

Agastja, I. K. 1951. Sejarah dan Perjuangan di Malaya. Penerbitan Nusantara.

Koentjaraningrat, 1990.  Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Mattulada, 1997. Kebudayaan, Kemanusiaan, dan Lingkungan Hidup. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.

Wati, Arena. 2006. Cakra Waruga. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia

Wiranata, I Gede A.B. 2002. Antropologi  Budaya. Bandung: Citra Aditya.